Rabu, 29 Februari 2012

cinta dari darah dan ruh

Cinta Dari Darah Dan Ruh

lelaki itu sudah mengabdi kepada ibunya sampai tuntas.
Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan
mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia
melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang
menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua
diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya
pada Umar Bin Khattab :”Apakah pengabdianku sudah
cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun
menjawab :”Tidak! Tidak cukup! Karena kamu
melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara
ibumu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu.”

Tidak! Tidak! Tidak!

Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu.
Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari
darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi
ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam
rahim sang ibu selama sembilan bulan : di sana sang
hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati
kehidupan sang ibu. Ia lalu keluar di antara darah :
inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi
dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta
misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah
metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang
lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah
campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menaap
anaknya yang sedang tertidur lelap. Ia akan berkata di
akar hatinya : itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika
ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar
berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya : itu
hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu
silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta
alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah.
Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani.
Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat
langit yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat.
Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya di muka
bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat.
Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas
: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah
pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat
yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang
anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang
ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti
kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran
tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa
Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku
monumentalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”.
Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh
ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya :”Ya
Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku
di akhirat kelak.”

Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan
potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya
terkabul!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar