Rabu, 29 Februari 2012

kisah dosen embriologi

Ada yang mengartikan kesetiaan sebagai sebuah ikhtiar untuk menjaga hubungan
yang telah dibina.
misalnya, antara sahabat dengan sahabat, bawahan dengan atasan, rakyat dengan
tanah airnya,
dan lain-lain. Lebih kepada wujud cinta yang diaplikasikan untuk memberikan yang
terbaik
agar “sesuatu” yang sedang dimiliki tidak hilang. Lain lagi bagi suami istri.
Mungkin kesetiaan
bisa diartikan sebagai utuhnya kasih sayang yang diterima dari pasangannya, yang
diiring ketulusan
untuk selalu mendampingi dalam kondisi apapun

Hari itu, pelajaran Embriologi yang membosankan ditiadakan. Karena ibu dosen
yang bersangkutan
tidak datang. Aku dan teman-teman bisa bernafas lega, karena otak bisa
diistirahatkan dari
gambar-gambar perubahan bentuk yang susah sekali untuk di mengerti. Namun, ada
sesuatu yang
terasa lain .. “menurutku, tidak biasanya Ibu absen”, . Dalam keadaan sakit
sekalipun, ibu memaksakan
diri datang.

Jujur saja, dunia kuliah kadang menjemukan. Dalam canda, sering aku dan
teman-teman melontarkan
pertanyaan “Kapan ya giliran si ibu sakit ?”. Sulit juga mencari standar sakit
buat Ibu, karena
sudah sekitar lima tahun beliau berperang melawan kanker. Padahal menurut
prediksi dokter luar negeri
yang menangani pengobatannya, seharusnya diperkirakan dua tahun yang lalu
usianya habis. Ternyata
Alhamdulilah, sampai kini Ibu masih segar bugar.

Dalam kegembiraan, mau tidak mau ada juga rasa gelisah yang hadir dalam
pikiranku “Ada apa dengan ibu
yah ? ”. Masih teringat senyum dan semangat Ibu saat memberi kuliah seminggu
yang lalu. Walau sebelah
matanya sudah diperban. Namun, sedikitpun tidak terbersit wajah putus asa.
Seperti lazimnya terlihat
pada pasien penderita kanker lainnya.

Saat sedang merenung, tiba-tiba muncul Bang Rudi (asisten ibu) sambil berkata,
“Ibu masuk Rumah
Sakit.”, ujarnya.

Kontan, diam-diam muncul pertanyaan di hati... “ Buah dari doa kita kah ?”.
Mata-mata yang tadinya
jail berubah jadi sendu. Inikah saatnya perjuangan Ibu berakhir ?, pikirku
kembali. Perlahan… .,
aku dan teman-teman melangkah ke kantor Jurusan dengan alam pikiran
masing-masing. Tepat di depan
Dekanat, Suami ibu yang juga dosenku melintas dan menyapa dengan keramahannya
yang khas “Habis kuliah
ya? Kuliah apa ?”, sapa beliau.

Lalu, Bagai berondongan senapan mesin, kami semua ingin bersuara untuk menjawab
sambil
mengajukan pertanyaan, “jadwal kuliah sama Ibu Pak, tapi kami dapat kabar Ibu
dirawat.”
“Ibu nggak apa-apa kan Pak ?”, “Ibu kenapa Pak? ”, tanya kami.

Sambil tersenyum, Bapak tersebut menjawab “Ibu anfal semalam, menurut dokter ..
kanker ibu sudah
menjalar ke kepala sehingga harus dioperasi, mohon doa dari kalian semua” , ujar
beliau penuh harap.
“Wah, gue salut banget sama Bapak. Beliau gagah… padahal ibu nggak gitu cantik,
ga punya anak lagi
tapi setianya itu… gue benar-benar salut deh !” tiba-tiba Anti nyerocos tanpa
diminta.
“Gue mau deh jadi isteri keduanya Bapak” tambah Anti lagi, kontan semua rekanku
menjadi tertawa 
****

Hari itu, sudah dua pekan Ibu dirawat di Rumah Sakit, namun selalu saja
cari-cari alasan untuk
tidak menjenguk beliau. Kuliah Exacta-lah, Jadwal kuliah dan praktikum yang
sangat padat lah,
belum lagi setumpuk tugas dan laporan yang harus diselesaikan. Kalaupun ada
waktu, siang hari
di saat mentari sedang bersinar garang. Melelahkan…

Dari kejauhan, di ujung koridor.. wajah Bapak terlihat sendu, tidak seperti
biasanya.
“Apa yang terjadi dengan ibu yah ?, tanyaku. “Jangan-jangan…” , diriku mulai
berpikir cemas.
Kali ini, setengah berlari aku dan teman-teman menyongsong Bapak, tidak sabar
ingin dapat jawaban.
“Pak, maafin ya.. kami belum sempat menjenguk ibu.” Dengan penyesalan yang dalam
Dida membuka
percakapan.

“Bapak ngerti… “ , sambil tersenyum, walaupun dalam sorot matanya tidak bisa
menyembunyikan kesenduan.
“Ibu kalian mulai tidak sadarkan diri, dan juga Bapak telah melakukan
kesalahan”, kata beliau memulai
ceritanya pada kami. “Dua hari yang lalu, ujar beliau, seperti biasa Bapak papah
Ibu ke kamar kecil…
tapi Bapak ceroboh sehingga Ibu tergelincir… bapak spontan menarik tangan Ibu
agar jangan jatuh.
Ibu memang tidak jadi jatuh, tapi tangan kiri Ibu patah. , sesalnya.

Namun, dalam sakitnya Ibu masih bisa tersenyum dan menghibur… bahwa itu bukan
salah Bapak”,
kata beliau sambil merenung.

Belum selesai Bapak bercerita…., bulir-bulir air mata beliau perlahan turun
menuruni pipinya.
Suasana itu pun membawa kami jadi ikut bersedih, sehingga menangis bersama. Aku
pun bertanya
dalam hati, kenapa dalam duka kebersamaan itu baru terasa ?, Ya Rabb, beri kami
kesempatan untuk
tetap menikmati semangat Ibu, harapku.

Entahlah, mungkin doa yang sama terucap dari batin masing-masing ketika itu.
Sore itu, kami akhirnya menjenguk Ibu ke Rumah Sakit. Dan memang Ibu mulai tidak
sadarkan diri.
Dia mengigau. Sebentar-sebentar memanggil Bapak. Lalu dengan setia, Bapak
mengusap tangan Ibu
yang mulai bengkak karena telah lama dipasok infus dan terus berbaring. Dengan
tatapan cinta dan
senyuman Bapak membesarkan hati Ibu dan meyakinkannya bahwa ibu Insya Alloh bisa
sembuh.

Pemandangan itu meluluh lantakkan segala kearoganan. Sampai akhirnya ada seorang
teman Bapak
bersuara “Sebenarnya istrimu sudah lama ingin menghadap Rabbnya, tapi kasih
sayangmu masih
membelenggunya, sehingga dia belum bisa pergi tenang. Lepaskanlah dia..
biarkanlah dia kembali…
Allah mencintainya lebih dari cinta yang kau punya. Yakinlah saudaraku !
Allah pun takkan mengambilnya tanpa restumu, orang yang telah menjaga cinta yang
dititipkan-Nya”,
jelas bapak tersebut memberi nasehat.

Genangan air mata yang tadi tertahan, sekarang meluncur deras … mengiringi
perjuangan seorang hamba
mempertaruhkan cintanya. Semua terpaku diam.. hening..
“Ya Rabb, bantu Bapak untuk mengikhlaskan Ibu pergi… Jangan hukum Bapak karena
rasa cintanya” ,
kataku dalam hati ini berharap.

Lalu, dengan suara tersendat, Bapak berujar “Pergilah kekasih hatiku… sudah
banyak kebahagiaan yang
kau beri untukku, dengan sabarmu telah kau buat aku SETIA, dengan ketegasanmu
telah kau antar aku
menjadi seorang yang berarti… Dia lebih mencintaimu sayang… kembalilah kepadanya
dengan tenang.
Semoga kedamaian rumah tangga yang selama ini kita bina akan mempertemukan kita
kembali di surga-Nya.
Aku mencintaimu isteriku… Asyhaadu allaa ilaaha illallaah wa asyhaadu anna
muhammaadurrasuulullaah….”
Bapak terkulai di dahi Ibu… seakan tak rela berpisah. Ibu pun tersenyum
perlahan.
Dan ternyata itulah senyumannya yang terakhir… “Innalillaahi wa ina ilaihi
raaji’un…”
Ibu kembali ke pangkuan Yang Kuasa. Akankah Embriologi tetap menjemukan ? Tidak
!!
Kami harus semangat… tidak boleh gagal ! Setidaknya, Ibu tetap bisa tersenyum
dari alam sana.
karena perjuangannya tidak sia-sia.

“Ringankan siksa Ibu di kuburnya ya Rabb. Izinkan Ibu tetap tersenyum dalam
menjalani penantian
menunggu hisabnya. Beri kami semangat dan ketabahan seperti yang Ibu punya ya
Allah. Sampaikan kalau
kami sangat kehilangan… Ampuni kesalahan kami pada Ibu… Kami menyayanginya ya
Rahman”

Saudaraku yang baik. mungkin kesetiaan menjadi lain artinya dalam versi sahabat
semua.
Mudah-mudahan cerita ini menjadi bahan renungan, bahwa setia itu tidak diukur
oleh faktor yang tampak,
tapi lebih didominasi oleh komitmen dan cinta yang terarah. Mudah-mudahan SETIA
yang terbentuk
hanya berasal dari cinta kepada Allah.
Wallaahu’alam (patra/ Villa sekpim/12/4/2003) © 2003
www.manajemenqolbu.com ***

Mohon maaf kepada Bapak karena kisah hidup Bapak saya modifikasi.
Mudah-mudahan pelajaran ini bisa jadi bekal bagi kami dalam membina keluarga.
Amin.
Teruntuk “viet camp”. Jangan lupa panjatkan doa untuk Ibu ya… Wassalamu'alaikum
wr wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar